Jumat, 14 Juni 2013

Ejaan dan sejarah ejaan


Bab I
Pendahuluan

A.     Latar Belakang
Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan karena selain digunakan sebagai alat komunikasi secara langsung atau lisan, bahasa juga dapat digunakan sebagai alat komunikasi secara tulisan. Dalam era globalisasi dan pembangunan reformasi demokrasi seperti sekarang ini, masyarakat dituntut secara aktif untuk dapat mengawasi dan memahami informasi di segala aspek kehidupan sosial secara baik dan benar. Untuk memahami informasi tersebut, bahasa berfungsi sebagai media penyampaian secara baik dan tepat dan dengan penyampaian informasi secara tertulis, diharapkan masyarakat dapat menggunakan media tersebut secara baik dan benar.
Guna memadukan satu kesepakatan dalam etika berbahasa, di sinilah peran aturan baku digunakan. Dalam hal ini kita selaku warga negara yang baik hendaknya selalu memperhatikan rambu-rambu ketatabahasaan Indonesia yang baik dan benar. Ejaan adalah salah satu dari rambu-rambu tersebut. Seringkali ejaan di Indonesia mengalami pergantian dari tahun ke tahun guna mengikuti perkembangan zaman[1]. Adapun tujuan dari pergantian sistem ejaan di Indonesia tak lain untuk menyempurnakan aturan berbahasa masyarakat Indonesia dan Pedoman Umum Ejaaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah wujud kongkret dari penyempurnaan ejaan di Indonesia saat ini. Perkembangan ejaan, khususnya Ejaan yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia adalah submateri dalam ketatabahasaan Indonesia yang memiliki peran cukup besar dalam mengatur etika berbahasa secara tertulis sehingga diharapkan informasi tersebut dapat disampaikan dan dipahami secara baik dan terarah. Dalam praktiknya diharapkan aturan tersebut dapat digunakan dalam keseharian masyarakat sehingga proses penggunaan tata bahasa Indonesia dapat dilakukan secara baik dan benar.  

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yakni, “Pengertian Ejaan dan Bagaimanakah perkembangan ejaan yang digunakan di Indonesia?”

C.     Pemecahan Masalah

A.    Pengertian ejaan
B.    Sejarah perkembangan ejaan di Indonesia
1.      Ejaan yang diresmikan
2.      Ejaan yang tidak diresmikan
3.      Ejaan Republik
4.      Ejaan Van Ophuysen
5.      Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
6.      Ejaan Baru (Ejaan LBK)
C.    Pedoman Teknis Ejaan dan Tata Tulis Baku[2]

D.     Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian ejaan dan bagaimana sejarah perkembangan ejaan di Indonesia.

















Bab II
Pembahasan

A.     Pengertian Ejaan

Ejaan adalah aturan tulis menulis. Secara lengkap dapat dikatakan bahwa ejaan adalah keseluruhan peraturan tentang bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran dan bagaimana hubungan antarlambang tersebut (pemisahan dan penggabungan dalam suatu bahasa). Secara teknis ejaan adalah aturan tulis-menulis dalam suatu bahasa yang berhubungan dengan penulisan huruf, pemakaian huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, dan pemakaian tanda baca.
Masalah ejaan adalah masalah tulis-menulis dalam bahasa Indonesia. Dalam usaha memodernkan bahasa Indonesia, cara menulis atau aturan tulis-menulis dalam bahasa Indonesia sangat perlu diutamakan karena tulisan merupakan tempat pencurahan konsep pikir para penulis itu sendiri. Dalam hubungan itu, suatu komunikasi yang dilakukan dengan tulis-menulis (dalam arti komunikasi jarak jauh dengan surat, umpamanya) harus menerapkan ejaan. Oleh sebab itu, materi ejaan akan dipakai oleh semua sasaran pembina bahasa Indonesia. Bagi masyarakat umum, masalah ejaan barangkali saja masih berkutat pada masalah keniraksaraan sehingga masyarakat tersebut harus dibina dalam hal pengenalan aksara latin.
            Ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja suatu kata, tapi juga berkaitan dengan cara mengatur penulisan huruf menjadi satuan yang lebih besar, misalnya kata, kelompok kata atau kalimat. Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya dalam suatu bahasa).
Saat ini bahasa Indonesia menggunakan sistem Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan sebagai sistem tatabahasa yang resmi. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan tidak hanya meliputi pemakaian huruf, pemakaian huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, penulisan unsur serapan dan pemakaian tanda baca saja, melainkan juga meliputi pedoman umum pembentukan istilah dan pedoman pemenggalan kata. 
Secara defenitif, Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sistem ejaan bahasa Indonesia yang didasarkan pada Keputusan Presiden No. 57, tahun 1972 yang diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Sistem ejaan ini, pada mulanya, disebarkan melalui buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Buku kecil ini merupakan buku patokan pemakaian sistem ejaan ini. Tetapi, di kemudian hari, karena buku penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Kemudian, pada Tahun 1987, kedua buku pedoman tersebut direvisi. Kemudian, edisi revisi dikuatkan dengan Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.

B.     Sejarah Perkembangan Ejaan di Indonesia

Bahasa Indonesia yang awalnya berakar dari bahasa Melayu sudah memiliki aksara sejak beratus tahun yang lalu, yaitu aksara Arab Melayu. Di Nusantara ini, bukan saja aksara Arab Melayu yang kita kenal. Kita juga mengenal aksara Jawa, aksara Sunda, aksara Bugis, aksara Bali, aksara Lampung, aksara Kerinci, aksara Rejang, dan aksara Batak. Aksara itu masing-masing memiliki nama, seperti aksara Kaganga dan aksara Rencong (incung).

1.            Ejaan yang diresmikan (Ejaan Van Ophuijsen)
Aksara Arab Melayu dipakai secara umum di daerah Melayu dan daerah-daerah  yang telah menggunakan bahasa Melayu. Akan tetapi, karena terjadi kontak budaya dengan dunia Barat, sebagai akibat dari kedatangan orang Barat dalam menjajah di Tanah Melayu itu, di sekolah-sekolah Melayu telah digunakan aksara latin secara tidak terpimpin. Oeh sebab itu, pada tahun 1900, menurut C.A. Mees (1956:30), Van Ophuijsen, seorang ahli bahasa dari Belanda mendapat perintah untuk merancang suatu ejaan yang dapai dipakai dalam bahasa Melayu, terutama untuk kepentingan pengajaran. Jika penyususnan ejaan itu tidak cepat-cepat dilakukan, dikhawatirkan bahwa sekolah-sekolah  tersebut akan menyusun dengan cara yang tidak terpimpin sehingga akan muncul kekacauan dalam ejaan tersebut.
Dalam menyusun ejaan tersebut, Van Ophuijsen dibantu oleh dua orang pakar bahasa dari Melayu, yaitu Engkoe Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Thaib Soetan Ibrahim. Dengan menggabungkan dasar-dasar ejaan Latin dan Ejaan Belanda, Van Ophuijsen dan teman-teman berhasil membuat ejaan bahasa Melayu, yang ejaan tersebut lazim disebut sebagai “Ejaan Van Ophuijsen”. Ejaan tersebut diresmikan pemakaiannya pada tahun 1901. Ejaan van Ophuijsen dipakai selama 46 tahun, lebih lama dari Ejaan Republik, dan baru diganti setelah dua tahun Indonesia merdeka. Huruf-huruf yang mendukunng Ejaan Van Ophuijsen adalah sebagai berikut:



Bunyi vokal
A
E
i
o
U
Bunyi diftong
ai
Au
Oi
oe


Bunyi konsonan
B
P
M
g
k
Ng

D
T
N
dj
tj
Nj

R
S
L
j
h
W
Bunyi hamzah





Bunyi ain





Bunyi trema
Bunyi asing
..
ch

Sj

Z




Dengan adanya ejaan tersebut, kita akan mendapatkan penulisan kata dalam bahasa Melayu sebagai berikut: ajam, elang, ekor, itik, orang, oelar, petai, kerbau, amboi, kapal, galah, tjerah, djala, tikar, darah, pasar, hilah, rasa, lipat, warna, soedah, habis, singa, njanji, mana, tida’, akal, mulai. Pemakaian angka dua menyakan perulangan tidak dibenarkan. Pengulangan penyabutan sebuah kata harus dilakukan dengan menulis secra lengkap kata tersebut.
Ejaan Van Ophuijsen belum dikatakan berhasil karena ia dan teman-temannya mendapat kesulitan memelayukan tulisan beberapa kata yang diambil dari bahasa Arab, yang mempunyai warna bunyi bahasa yang khas. Oleh sebab itu, dia memilih bunyi ch, sj, z, f, secara tidak taat asas karena sudah pula banyak bahasa Arab yang dimelayukan sehingga empat huruf itu tidak terpakai dengan baik. Kemudian, muncul persoalan warna bunyi dari Arab yang disebut hamza dan ain, yang dilambangkannya masing-masing dengan tanda apostrof (‘). Kesukaran-kesukaran itu selalu diperbaiki dan disempurnakan oleh Van Ophuijsen. Ejaan tersebut secara lengkap termuat dalam buku yang berjudul Kitab Logat Melajoe. Pada tahun 1926, sistem ejaan mendapat bentuk yang tetap

2.             Ejaan yang tidak diresmikan (Ejaan Melindo)
Pada akhir tahun 1950-an para penulis mulai pula merasakan kelemahan yang terdapat pada Ejaan Republik itu. Ada kata-kata yang sangat mengganggu penulisan karena ada satu bunyi bahas yang dilambangkan dengan dua huruf, seperti dj, tj, sj, ng, dan ch. Para pakar bahasa menginginkan satu lamabang untuk satu bunyi. Gagasan tersebut dibawa ke dalam pertemuan dua Negara, yaitu Indonensia dan Malaysia.  Dari pertemuan itu, pada akhir tahun 1959 Sidang Perutusan Indonensia dan Melayu (Slametmulyana dan Syeh Nasir bin Ismail, masing-masing berperanan sebagi ketua perutusan) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia).  
Konsep bersama itu memperlihatkan bahwa satu bunyi bahasa dilambangkan dengan satu huruf. Salah satu lambing itu adalah huruf j sebagai pengganti dj, huruf c sebagai pengganti huruf tj, huruf η sebagai pengganti ng, dan huruf ή sebagai pengganti nj. Sebagai contoh :
Ø  sejajar sebagai pengganti sedjadjar
Ø  mencuci sebagai pengganti mentjutji
Ø  meηaηa  sebagai pengganti dari menganga
Ø  berήaήi sebagai pengganti berjanji

Ejaan Melindo tidak pernah diresmikan. Di samping terdapat beberapa kesukaran teknis untuk menuliskan  beberapa huruf, politik yang terjadi pada kedua negara antara Indonesia-Malaysia tidak memungkinkan untuk meresmikan ejaan tersebut. Perencanaan pertama yang dilakukan dalam ejaan Melindo, yaitu penyamaan lambang ujaran antara kedua negara, tidak dapat diwujudkan. Perencanaan kedua, yaitu pelambangan setiap bunyi ujaran untuk satu lambang, juga tidak dapat dilaksanakan. Berbagai gagasan tersebut dapat dituangkan dalam Ejaan bahasa Indonensia yang disempurnakan yang berlaku saat ini.

3.            Ejaan Republik (Ejaan Soewandi)
Beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka yakni pada masa pendudukan Jepang, pemerintah sudah mulai memikirkan keadaan ejaan kita yang sangat tidak mampu mengikuti perkembangan ejaan internasional. Oleh sebab itu, Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pengubahan ejaan untuk menyempurnakan ejaan yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, pada tahun 1947 muncullah sebuah ejaan yang baru sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dr. Soewandi, pada tanggal 19 Maret 1947 yang disebut sebagai Ejaan Republik. Karena Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan adalah Dr. Soewandi, ejaan yang diresmikan itu disebut juga sebagai Ejaan Soewandi. Hal-hal yang menonjol dalam Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik itu adalah sebagai berikut :
 Huruf /oe/ diganti dengan /u/, seperti dalam kata berikut:
ü  goeroe menjadi guru
ü  itoe menjadi itu
ü  oemoer menjdi umur



 Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan /k/, seperti dalam kata berikut:
ü    tida’ menjadi tidak
ü    Pa’ menjadi Pak
ü    ma’lum menjadi maklum
ü    ra’yat menjadi rakyat

 Angka dua boleh dipakai untuk menyatakan pengulangan, seperti kata berikut:
ü  beramai-ramai menjadi be-ramai2
ü  anak-anak menjadi anak2
ü  berlari-larian menjadi ber-lari-2an
ü  berjalan-jalan menjadi ber-jalan2

 Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti berikut:
diluar (katadepan), dikebun (katadepan), ditulis (awalan),diantara (kata depan), disimpan (awalan), dipimpin (awalan),dimuka (kata depan), ditimpa (awalan), disini (kata depan).

 Tanda trema tidak dipakai lagi sehingga tidak ada perbedaan antar suku kata diftong, seperti kata berikut:
ü  Didjoempaϊ menjadi didjumpai
ü  Dihargaϊ menjadi dihargai
ü  Moelaϊ menjadi mulai

 Tanda aksepada huruf e tidak dipakai lagi, seperti pada kata berikut:
ü  ẻkor menjadi ekor
ü  hẻran mejadi heran
ü  mẻrah menjadi merah
ü  berbẻda menjadi berbeda

 Di hadapan tj dan dj, bunyi sengau ny dituliskan sebagai n untuk mengindahkan cara tulis:
ü Menjtjuri menjdi mentjuri
ü Menjdjual menjadi mendjual



 Ketika memotong kata-kata di ujung baris, awalan dan akhiran dianggap sebagai suku-suku kata yang terpisah:
ü be-rangkat menjadi ber-angkat
ü atu-ran menjadi atur-an

 Huruf-huruf q, x, dan y tidak diatur pemakainnya dalam ejaan. Huruf chanya dipakai dalam hubungannya dengan huruf ch.


4.            Ejaan Van Ophuysen

 Ejaan ini disusun oleh Prof. ch. A. Van Ophuysen dengan bantuan ahli bahasa seperti Engku Nawawi atas perintah Pemerintah Hindia Belanda. Ejaan ini terbit pada tahun 1901, dalam kitab logat melayu. Menurut Van Ophuysen bahasa melayu tidak mengenal gugus konsonam dalam satu kata.

Ajaran Ophuysen tidak dipakai lagi karena beberapa pertimbangan :

1.      Adanya gugus konsonam dalam bahasa indonesia tidak menimbulkan kesulitan apapun dalam lafal bagi pemakai bahasa Indonesia.
2.      Kita menghendaki agar eajaan kata pungut dalam bahasa Indonesia sedapat-dapatnya dekat dengan ejaan asli kata asalnya.
3.      Dalam pemungutan kata asing kita sukar menghindari adanya gugus tugas konsonam.

Contoh :
Kata instruktur (bahasa Belanda instructur) jika di Indonesiakan sesuai dengan ketetapan Ophuysen akan menjadi in-se-te-ruk-tur.

Berdasarkan tiga hal tersebut maka ajaran Ophuysen dikesampingkan. Selain itu kelemahan ejaan ini banyaknya tanda-tanda diakritik.


5.            Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan atau biasa disebut EYD, diberlakukan sejak penggunaannya diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 16 Augustus 1972. Pedoman umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan ditetapkan oleh Mendikbud pada tanggal 31 Agustus 1975 dan dinyatakan dengan resmi berlaku diseluruh Indonesia dan disempurnakan lagi pada tahun 1987.

Dikatakan ejaan yang disempurnakan karena ejaan tersebut merupakan penyempurnaan dari beberapa ejaan sebelumnya. Beberapa kebijakan baru yang ditetapkan di dalam  EYD, antara lain:
1)      Pembentukan Huruf
     Ejaan lama                                                                       EYD
    dj           jarum                                                                   j       jarum
    tj            tjut                                                                       c      cut
    nj            njawa                                                                  ny    nyawa

2)      Huruf f, r, dan z yang merupakan unsur serapan dari bahasa asing, misalnya khilaf, zakat.
3)      Huruf g dan x lazim digunakan dalam ilmu pengetahuan tetap, misalnya furgan dan xenon.
4)      Penulisan di - sebagai awalan dibedakan dengan di sebagai kata depan.
     Contoh :
                   Awalan                                                         kata Depan
                      di-                                                                    di
                 dikhianati                                                         di kampus 

5)      Kata ulang ditulis penuh dengan mengulang unsur-unsurnya, bukan dengan angka dua/2 .
Contoh :
            - Mahasiswa-mahasiswa                                     Mahasiswa2
            - Bermain-main                                                   Bermain2 



Secara umum hal-hal yang diatur dalam EYD adalah sebagai berikut :

1.      Pemakaian huruf
2.      Pemakaian huruf kapital dan huruf miring
3.      Penulisan kata
4.      Penulisan unsur serapan
5.      Pemakaian tanda baca

6.    Ejaan Baru (Ejaan LBK)


Apakah Ejaan Baru itu?
1.      Merupakan lanjutan dari rintisan panitia ejaan melindo.Pelaksananya pun terdiri dari panitia Ejaan LBK (Lembaga bahasa dan Kasusaatraan,sekarang bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) juga dari panitia Ejaan bahasa Melayu yang berhasil merumuskan ejaan yang disebut Ejaan Baru.Namun lebih di kenal dangan ejaan LBK. Konsep Ejaan ini di susun berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain:
Pertimbangan Teknis yaitu pertimbangan yang menghendaki agar setiap fonem di lambangkan dengan satu huruf.
2.      Pertimbangan Praktis yaitu pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan secara teknis itu di sesuaikan dengan keperluan praktis seperti ke adaan percetakan dan mesin tulis.
3.      Pertimbangan Ilmiah yaitu Pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan itu mencerminkan studi yang mendalam mengenai kenyataan bahasa dan masyarakat pemakainya.

Perubahan apakah yang terdapat dalam ejaan Baru?

1.      Gabungan konsonan dj di ubah menjadi j
Misalnya : 
remadja → remaja
djalan → jalan
2.      Gabungan konsonan tj di ubah menjadi c.
Misalnya : 
tjakap → cakap
batja → baca
3.      Gabungan konsonan nj di uban menjadi ny.
Misalnya :
Sunji → sunyi
Njala → nyala
4.      Gabungan konsonan sj di ubah menjadi sy.
Misalnya :
Sjarat → syarat
Sjair → syair
5.      Gabungan konsonan ch di ubah menjadi kh.
Misalnya :
Tachta → takhta
Ichlas → ikhlas
6.      Huruf j di ubah menjadi y
Misalnya :
Padjak → pajak
Djatah → jatah

7.      Huruf e taling dan e pepet penulisannya tidak dibedakan dan hanya di tulis dengan e/tanpa penanda.
Misalnya :
Ségar → segar
Copèt →copet
8.      Huruf asing f, v, dan z di masukkan kedalam sistem ejaan bahasa Indonesia karena huruf huruf itu banyak di gunakan.
Misalnya :
Fasih
Vakum
Zaman

C. Pedoman Teknis Ejaan dan Tata Tulis Baku
1.         Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda koma (,) dalam penulisannya
Agaknya,

Paling tidak,
Akan tetapi,

Sebaliknya,
Akhirnya,

Sesudahnya,
Akibatnya,

Sementara itu,
Artinya,

Adapun,
Biarpun begitu,

Sungguhpun begitu,
Biarpun demikian,

Tambahan Lagi,
Dalam hal ini,

Untuk itu,
Disamping itu,

Namun,
Jadi,

Dalam hubungan ini,
Lagi pula,

Dalam konteks ini,
Meskipun begitu,

Dengan kata lain,
Pada dasarnya,

Dipihak lain,
Jika demikian,

Sebaiknya,
Kalau begitu

Sebelumnya,
Kalau tidak salah,

Sehubungan dengan itu,
Kecuali itu,

Selanjutnya,
Meskipun demikian

Sesudah itu,
Oleh sebab itu,

Sungguhpun demikian,
Oleh karena itu,

Tambahan pula
Karena itu,

Walaupun begitu,
Sebagai kesimpulan,

Maka dari itu,

























2.         Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya di tengah kalimat

…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya

3.         Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk kebahasaan itu diikuti anak kalimat.


…bahwa…
…maka…
…karena…
…sehingga…
…sebab…
…jika…
…kalau…
…apabila…
…bila…
…bilamana…




















4.         Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk kebahasaan itu diikuti induk kalimat
.
…, bahwa…
…, maka…
…, karena…
…, sehingga…
…, sebab…
…, jika…
…, kalau…
…, apabila…
…, bila…
…bilamana…

5.         Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan konjungsi korelarif.

Baik…maupun
Bukan…melainkan
Tidak…tetapi
Entah…entah
Antara…dan
Tidak hanya…tetapi juga
Bukan hanya…melainkan juga

6.         Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan idiom atau bentuk senyawa.

Sesuai dengan
Terkait dengan
Seirama dengan
Berkaitan dengan
Bertalian dengan
Setali dengan
Berkenaan dengan
Seiring dengan
Sejalan dengan
Dibandingkan dengan
Sehubungan dengan
Berhubungan dengan
Berpasangan dengan
Bergandengan dengan
Dan lain-lain
Dan sebagainya
Berkali-kali
Berulang-ulang
Terdiri dari

7.         Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir karena berkaitan dengan dimensi kedaerahan dan kelisanan

gimana

mangkanya
gitu

karenanya
slama

haturkan
nggak

menghaturkan
tahuk

kompleks pemakaman
peduli amat

daerah pedesaan
ini hari

wilayah pemukiman
ketawa

penduluan
ketabrak

pembaharuan
kepukul

nampak
kesandung

naik ke atas
mangkin

mundur ke belakang
selamatken

kacang ijo
diundangken

lombok ijo
himbau

lombok abang
hempas

kerbo
himpit

pake
rapih

rame
silahkan

sante
ujud

nyante
perujudan

kede
persaratan

terate
sah

kedele
tentunya

sate
makanya

nyante





8.         Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena merupakan hasil dari analogi bentuk-bentuk kebahasaan yang salah.

lelenisasi

neonisasi
listrikisasi

krakalisasi
aspalisasi

konblokisasi
selokanisasi

teleponisasi
sengoninasi

jatinisasi
turinisasi

abatisasi
kuningisasi

semprotisasi
merahisasi

jambanisasi
hijaunisasi

kakusisasi
hitamisasi

wesenisasi
lampunisasi

pompanisasi

9.         Bentuk-bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan verba yang tidak benar

koordinir

mangorganisir
mengkoordinir

terorganisir
dikoordinir

dramatisir
terkoordinir

mendramatisir
legalisir

didramatisir
dilegalisir

realisir
melegalisir

merealisir
lokalisir

direalisir
melokalisir

terealisir
dilokalisir

politisir
proklamir

dipolitisir
memproklamirkan

mempolitisir
diproklamirkan

netralisir
konfrontir

dinetralisir
dikonfrontir

menetralisir
mengkonfrontir

akomodir
organisir

mengakomodir
diorganisir

diakomodir




10.     Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena ketidakcermatan dalam penulisan.

pungkir
dipungkiri
mempungkiri
jadual
gladi
gladi resik
trampil
kroyok
analisa
menganalisa
dianalisa
panutan
antri
mengantri
prosen
diprosenkan
prosentase
kusus
ihlas
akhli
husus
apotik
apotiker
praktek
praktekum
ijin
mengijinkan
diijinkan
fikiran
difikiran
faham
difahami
kwitansi
dikwitansikan

11.     Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal penulisan gabungan kata.

beritahu
lipatganda
kerjasama
garisbawah
sebarluas
tandatangan
tanggungjawab
terimakasih
keretaapi
rumahsakit
suratkabar

                 






12.     Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
sebarluaskan
bertandatangan
tandatangi
tandatangankan
bertanggungjawab
berterimakasih
Terimakasihi
memberitahu
beritahukan
berlipatganda
bekerjasama
digarisbawahi
garisbawahi
tersebarluas

                                                                           

13.     Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.

memroduksi
memromosikan
memroses
memraktikkan
memrakarsai
memrotes
memrakirakan
mempedulikan
Memerhatikan
Mempesona
mengkomunikasikan
Mengkoordinir
Memunyai
mengkambinghitamkan
mengkonsumsi


14.     Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya kesalahkaprahan.
menyuci
menyoblos
maka itu
merubah
tersebut di atas
jam 7 pagi
nampak
silahkan
merapihkan
pengetrapan
masing-masing orang
sesuatu benda
seseorang dosen

berkesinambungan
disini
disana
diketemukan
sampai ketemu kembali
sampai jumpa
seperti misalnya
seperti contohnya
misalnya antara lain
antara lain seperti
di antaranya seperti
adalah merupakan
mengenyampingkan













15.     Bentuk kebahasaan yang salah akibat kegandaan konjungsi kalimat.

Jika. . .maka
Karena. . .maka
Kalau. . .maka
Sehingga. . .maka
Apabila. . .maka
Bila. . .maka
Manakala. . .maka
Meskipun. . .tetapi
Meskipun. . .namun
Walaupun. . .tetapi
Kendatipun. . .namun


                                                                                      





16.     Bentuk ‘di’ ditulis serangkai apabila kata yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau ‘kata kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata itu merupakan nomina atau kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan ‘disamping’ berbeda, karena yang satu bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang satunya bermakan ‘selain’ atau ‘kecuali’. 

dipukul
ditendang
dipikir
dibangun
dipasang
dikawal
dibunuh
dicium
dipakai
dipindai
dimakan
di meja
di kursi
di halaman
di kelas
di gedung
di kolam
di samping
di dalam
di luar













17.     Bentuk ‘ke’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata bilangan atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangkai dengan ‘luar’ kalau merupakan kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis tidak serangkai karena bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’. Mohon hati - hati pula dengan bentuk kebahasaan yang memang penulisannya diawali oleh ‘ke’.

kedua
ketiga
keempat
keluar
kekasih
ketua
kemari







18.     Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya apabila ‘pun’ tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang mendahuluinya. Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang mendahuluinya apabila ‘pun’ berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali saja’ atau‘meskipun sekali’ atau ‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalam makna yang terakhir ini harus ditulis tidak serangkai.

koordinir
mengkoordinir
dikoordinir
terkoordinir
legalisir
dilegalisir
melegalisir

meskipun
walaupun
biarpun
sungguhpun
kendatipun
adapun
ataupun
kalaupun
maupun
bagaimanapun
andaipun
sekalipun
sedikit pun
apa pun
aku pun
dia pun
mereka pun
kita pun
sepeser pun
sekali pun







                    


19.     Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata harus dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang mengikutinya. Demikian pula kata gabung yang bagian - bagiannya berhubungan sangat erat hingga merupakan sebuah paduan harus dituliskan serangkai.

intrakurikuler
ekstrakurikuler
perikemanusiaan
ultramodren
kontrarevolusi
multilateral
antarkota
semifinal
saptamarga
saptaprasetia
tunawisma
mahaadil
mahajaya
matahari
apabila
manakala
padahal
bagaimana
peribahasa











20.     Kata gabung dasar yang bagian - bagiannya tidak sangat erat hubungannya, sehingga tidak dapat disatukan menjadi satu kata, harus dituliskan tidak serangkai. Bentuk tersebut akan ditulis serangkai hanya apabila dikenakan konfiks atau imbuhan gabung. Awalan atau prefiks hanya akan melekat pada unsure pertama, akhiran atau sufiks hanya melekat pada unsure kedua. Bentuk gabung dasar tersebut.





tanggung jawab
kerja sama
daya guna
salah guna
pertanggungjawaban
bekerja sama
disalahgunakan
disalahartikan
garis bawah
jungkir balik
sebar luas
sertanggung jawab
bergaris bawah
digarisbawahi
dijungkirbalik
penjungkirbalikan









21.     Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam pemakaiannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.) dan dapat pula dengan tanda titik dua (:). Bedanya, tanda titik (.) digunakan apabila perincian yang menyertai ‘sebagai berikut’ adalah kalimat-kalimat, sedangkan tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang menyertainya adalah kata, frasa, atau klausa. Akhir setiap rincian bisa tanda titik (.) kalau berupa kalimat, tanda koma (,) atau tanda titik koma (;) bila perincian itu berupa frasa atau klausa. Bentuk ‘dan’ pada akhir frasa sebelum perincian terakhir digunakan apabila perincian itu dipisahkan dengan tanda koma (,).

Contoh:
           
1)      Kendala-kendala itu adalah sebagai berikut.
a.       Biaya pendidikan sangat mahal dan tidak terjangkau.
b.      Biaya pendidikan yang mahal dan tidk terjangkau.
c.       Biaya pendidikan harus dibayarkan secara langsung dan tunai.
            2)  Kendala-kendala itu adalah sebagai berikut:
a.       Sulit dijangkau,
b.      Sulit dicari, dan
c.       Sulit ditemukan.
3)      Kendala-kendala itu adalah sebagai berikut:
a.       Sulit dijangkau;
b.      Sulit dicari;
c.       Sulit ditemukan

22.     Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘yakni’ dan ‘yaitu’.

Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau horizontal, maupun dalam perincian yang bersifat vertical, tidak perlu diikuti tanda titik dua (:) .
Contoh:
1)      Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b) sulit dicari, dan (c) sulit ditemukan.
2)      Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni
a.       sulit dijangkau,
b.      sulit dicari, dan
c.       sulit ditemukan.

Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan
Bentuk ‘adalah’ digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur penjelas yang mengikutinya. Dalam hal yang terakhir ini kata ‘adalah’ dapat digantikan dengan ‘merupakan’. Adapun ‘yakni’ dan ‘yaitu’ digunakan untuk memerinci.

Contoh:

a.       Perampok ialah. . .
b.      Fisika ialah. . .
c.       Korupsi ialah. . .
d.      Januari adalah bulan pertama dalam setiap tahun.
e.       Pancasila adalah dasar negara kita.
f.       Januari merupakan bulan pertama dalam setiap tahun.
g.      Pancasila merupakan dasar negara kita.
h.      Dia melarikan diri bersama tiga orang teman, yakni Badu, Budi, dan Bido.

23.     Ihwal tanda hubung (-) dan tandai (–) ­­­.
Tanda hubung sering dikacaukan pemakaiannya dengan tanda pisah (−). Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk yang diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan maksud ‘hingga’ atau ‘sampai’ atau ‘sampai dengan’. Tanda pisah juga digunakan untuk menyatakan sisipan informasi atau keterangan yang ada didalam kalimat. Pemakaian tanda hubung (-) dan tanda pisah (−) harus rapat dengan kata yang mengawali dan mengikutinya.

Contoh:

a.       putar-putar
b.      jaga-jaga
c.       tanda-tanda
d.      kaya-kaya
e.       cerdas-cerdas
f.       3−5 mahasiswa
g.      Surabaya−Jakarta
h.      2009−2012

24.     Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’. Di antara betuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘tiap-tiap’ atau ‘setiap’, lainnya tidak. Kesalahan kebahasaan yang selama ini terjadi adalah bahwa bentuk ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’, semuanya diikuti oleh benda atau nomina. Harus dicatat bahwa yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘suatu’ dan ‘seorang’, bukan ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’.    

Contoh:

a.       Setiap mahasiswa diperbolehkan mengikuti perkuliahan tambahan besok pagi.
b.      Tiap-tiap mahasiswa diperbolehkan mengikuti perkuliahan tambahan besok pagi.
c.       Seorang pencuri menyelinap lewat pintu belakang rumah itu.

25.      Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, ‘sedangkan’, dan ‘adapun’

Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi atau penghubung antarkalimat. Konjungsi demikian itu bertugas menghubungkan ide pada kalimat sebelumnya, dengan ide pada kalimat yang mengikutinya. Konjungsi antarkalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma (,) yang menyertainya. Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan antarkalimat. Dengan demikian, bentuk demikian itu tidak pernah boleh menempati posisi antarkalimat. Bentuk ‘sementara’ bukanlah konjungsi, maka jangan pernah ditempatkan pada posisi konjungsi. Makna kata ‘sementara’ adalah ‘beberapa waktu’. Jadi, jangan pernah bentuk kebahasaan ini dianggap sama dengan ‘sedangkan’. Hal lain yang juga harus dicatat berkaitan dengan ‘sementara’ adalah bahwa kata itu sering dianggap bermakna ‘beberapa’, bukan hanya ‘beberapa waktu’. Anggapan yang disebutkan terakhir ini pun tidak benar. Contoh-contoh kebahasaan berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.

a.       Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
b.      Sedangkan masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c.       Sementara para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.

Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:

a.       Beberapa kalangan akan segera dating menyusul.
b.      Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c.       Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.

26.     Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’

Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya adalah memerinci. Sebagai pemerinci, makna yang terkandung didalam konjungsi itu adalah sekaligus pembatas. Maka dari itu, tidak perlu ditambahkan pembatas lain dalam pemakaiannya karena akan membuat kalimat itu salah. Contoh-contoh bentuk kebahasaan berikut ini tidak benar dan harus dibetulkan terlebih dahulu jika hendak dimanfaatkan.

a.       Lambatnya mengatasi amsa;ah tiu dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuanagan, kurangnya sumber daya manusia, dan lain-lain.

Bentuk kebahsaaan yang benar untuk kalimat diatas tentu saja adalah sebagai berikut:

a.       Lambatnya mengatasi masalah itu dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya sumber daya manusia.

























[1] Depdikbud. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, ( Jakarta : Hi-Fest, 2008),Hal 27
[2] Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.,Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta : Erlangga,2009)Hal 197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar