Bab I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan karena
selain digunakan sebagai alat komunikasi secara langsung atau lisan, bahasa
juga dapat digunakan sebagai alat komunikasi secara tulisan. Dalam era
globalisasi dan pembangunan reformasi demokrasi seperti sekarang ini,
masyarakat dituntut secara aktif untuk dapat mengawasi dan memahami informasi
di segala aspek kehidupan sosial secara baik dan benar. Untuk memahami
informasi tersebut, bahasa berfungsi sebagai media penyampaian secara baik dan
tepat dan dengan penyampaian informasi secara tertulis, diharapkan masyarakat
dapat menggunakan media tersebut secara baik dan benar.
Guna memadukan satu kesepakatan dalam etika berbahasa, di
sinilah peran aturan baku digunakan. Dalam hal ini kita selaku warga negara
yang baik hendaknya selalu memperhatikan rambu-rambu ketatabahasaan Indonesia
yang baik dan benar. Ejaan adalah salah satu dari rambu-rambu tersebut.
Seringkali ejaan di Indonesia mengalami pergantian dari tahun ke tahun guna
mengikuti perkembangan zaman[1].
Adapun tujuan dari pergantian sistem ejaan di Indonesia tak lain untuk
menyempurnakan aturan berbahasa masyarakat Indonesia dan Pedoman Umum Ejaaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah wujud kongkret dari penyempurnaan
ejaan di Indonesia saat ini. Perkembangan ejaan, khususnya Ejaan yang
Disempurnakan (EYD) di Indonesia adalah submateri dalam ketatabahasaan
Indonesia yang memiliki peran cukup besar dalam mengatur etika berbahasa secara
tertulis sehingga diharapkan informasi tersebut dapat disampaikan dan dipahami
secara baik dan terarah. Dalam praktiknya diharapkan aturan tersebut dapat
digunakan dalam keseharian masyarakat sehingga proses penggunaan tata bahasa
Indonesia dapat dilakukan secara baik dan benar.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan
sebelumnya, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yakni, “Pengertian Ejaan dan
Bagaimanakah perkembangan ejaan yang digunakan di Indonesia?”
C. Pemecahan Masalah
A. Pengertian ejaan
B. Sejarah perkembangan ejaan di Indonesia
1.
Ejaan yang diresmikan
2.
Ejaan yang tidak diresmikan
3.
Ejaan Republik
4.
Ejaan Van Ophuysen
5.
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
6.
Ejaan Baru (Ejaan LBK)
C. Pedoman Teknis Ejaan dan Tata Tulis Baku[2]
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian ejaan dan
bagaimana sejarah perkembangan ejaan di Indonesia.
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Ejaan
Ejaan adalah aturan tulis menulis. Secara lengkap dapat dikatakan bahwa
ejaan adalah keseluruhan peraturan tentang bagaimana melambangkan bunyi-bunyi
ujaran dan bagaimana hubungan antarlambang tersebut (pemisahan dan penggabungan
dalam suatu bahasa). Secara teknis ejaan adalah aturan tulis-menulis dalam suatu
bahasa yang berhubungan dengan penulisan huruf, pemakaian huruf, penulisan
kata, penulisan unsur serapan, dan pemakaian tanda baca.
Masalah ejaan adalah masalah tulis-menulis dalam bahasa Indonesia. Dalam
usaha memodernkan bahasa Indonesia, cara menulis atau aturan tulis-menulis
dalam bahasa Indonesia sangat perlu diutamakan karena tulisan merupakan tempat
pencurahan konsep pikir para penulis itu sendiri. Dalam hubungan itu, suatu
komunikasi yang dilakukan dengan tulis-menulis (dalam arti komunikasi jarak
jauh dengan surat, umpamanya) harus menerapkan ejaan. Oleh sebab itu, materi
ejaan akan dipakai oleh semua sasaran pembina bahasa Indonesia. Bagi masyarakat
umum, masalah ejaan barangkali saja masih berkutat pada masalah keniraksaraan
sehingga masyarakat tersebut harus dibina dalam hal pengenalan aksara latin.
Ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja suatu kata, tapi juga
berkaitan dengan cara mengatur penulisan huruf menjadi satuan yang lebih besar,
misalnya kata, kelompok kata atau kalimat. Ejaan adalah keseluruhan peraturan
bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan antara
lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya dalam suatu bahasa).
Saat ini bahasa Indonesia menggunakan sistem Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan sebagai sistem tatabahasa yang resmi. Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan tidak hanya meliputi pemakaian huruf, pemakaian huruf kapital dan
huruf miring, penulisan kata, penulisan unsur serapan dan pemakaian tanda baca
saja, melainkan juga meliputi pedoman umum pembentukan istilah dan pedoman
pemenggalan kata.
Secara defenitif, Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sistem
ejaan bahasa Indonesia yang didasarkan pada Keputusan Presiden No. 57, tahun
1972 yang diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik
Indonesia. Sistem ejaan ini, pada mulanya, disebarkan melalui buku kecil yang
berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Buku kecil ini merupakan
buku patokan pemakaian sistem ejaan ini. Tetapi, di kemudian hari, karena buku
penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dengan surat keputusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972
(Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Kemudian Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan dengan surat keputusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman
Umum Ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah. Kemudian, pada Tahun 1987, kedua buku pedoman tersebut direvisi.
Kemudian, edisi revisi dikuatkan dengan Putusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan no. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
B. Sejarah Perkembangan Ejaan di
Indonesia
Bahasa Indonesia yang awalnya berakar dari bahasa Melayu sudah memiliki
aksara sejak beratus tahun yang lalu, yaitu aksara Arab Melayu. Di Nusantara ini,
bukan saja aksara Arab Melayu yang kita kenal. Kita juga mengenal aksara Jawa,
aksara Sunda, aksara Bugis, aksara Bali, aksara Lampung, aksara Kerinci, aksara
Rejang, dan aksara Batak. Aksara itu masing-masing memiliki nama, seperti
aksara Kaganga dan aksara Rencong (incung).
1.
Ejaan yang diresmikan (Ejaan Van Ophuijsen)
Aksara Arab Melayu dipakai secara umum di daerah
Melayu dan daerah-daerah yang telah menggunakan bahasa Melayu. Akan
tetapi, karena terjadi kontak budaya dengan dunia Barat, sebagai akibat dari
kedatangan orang Barat dalam menjajah di Tanah Melayu itu, di sekolah-sekolah
Melayu telah digunakan aksara latin secara tidak terpimpin. Oeh sebab itu, pada
tahun 1900, menurut C.A. Mees (1956:30), Van Ophuijsen, seorang ahli bahasa
dari Belanda mendapat perintah untuk merancang suatu ejaan yang dapai dipakai
dalam bahasa Melayu, terutama untuk kepentingan pengajaran. Jika penyususnan
ejaan itu tidak cepat-cepat dilakukan, dikhawatirkan bahwa
sekolah-sekolah tersebut akan menyusun dengan cara yang tidak terpimpin
sehingga akan muncul kekacauan dalam ejaan tersebut.
Dalam menyusun ejaan tersebut, Van Ophuijsen
dibantu oleh dua orang pakar bahasa dari Melayu, yaitu Engkoe Nawawi Soetan
Ma’moer dan Moehammad Thaib Soetan Ibrahim. Dengan menggabungkan dasar-dasar ejaan Latin dan Ejaan Belanda, Van
Ophuijsen dan teman-teman berhasil membuat ejaan bahasa Melayu, yang ejaan
tersebut lazim disebut sebagai “Ejaan Van Ophuijsen”. Ejaan tersebut diresmikan
pemakaiannya pada tahun 1901. Ejaan van Ophuijsen dipakai selama 46 tahun,
lebih lama dari Ejaan Republik, dan baru diganti setelah dua tahun Indonesia
merdeka. Huruf-huruf yang mendukunng Ejaan Van Ophuijsen adalah sebagai
berikut:
Bunyi vokal
|
A
|
ẻ
|
E
|
i
|
o
|
U
|
Bunyi diftong
|
ai
|
Au
|
Oi
|
oe
|
||
Bunyi konsonan
|
B
|
P
|
M
|
g
|
k
|
Ng
|
D
|
T
|
N
|
dj
|
tj
|
Nj
|
|
R
|
S
|
L
|
j
|
h
|
W
|
|
Bunyi hamzah
|
‘
|
|||||
Bunyi ain
|
‘
|
|||||
Bunyi trema
Bunyi asing
|
..
ch
|
Sj
|
Z
|
|
Dengan
adanya ejaan tersebut, kita akan mendapatkan penulisan kata dalam bahasa Melayu
sebagai berikut: ajam, elang, ekor, itik, orang, oelar, petai, kerbau, amboi,
kapal, galah, tjerah, djala, tikar, darah, pasar, hilah, rasa, lipat, warna,
soedah, habis, singa, njanji, mana, tida’, akal, mulai. Pemakaian angka dua menyakan perulangan tidak dibenarkan. Pengulangan
penyabutan sebuah kata harus dilakukan dengan menulis secra lengkap kata
tersebut.
Ejaan Van
Ophuijsen belum dikatakan berhasil karena ia dan teman-temannya mendapat
kesulitan memelayukan tulisan beberapa kata yang diambil dari bahasa Arab, yang
mempunyai warna bunyi bahasa yang khas. Oleh sebab itu, dia memilih bunyi ch,
sj, z, f, secara tidak taat asas karena sudah pula banyak bahasa Arab
yang dimelayukan sehingga empat huruf itu tidak terpakai dengan baik. Kemudian, muncul persoalan warna bunyi dari Arab yang disebut hamza dan ain,
yang dilambangkannya masing-masing dengan tanda apostrof (‘).
Kesukaran-kesukaran itu selalu diperbaiki dan disempurnakan oleh Van Ophuijsen.
Ejaan tersebut secara lengkap termuat dalam buku yang berjudul Kitab
Logat Melajoe. Pada tahun 1926, sistem ejaan mendapat bentuk yang
tetap
2.
Ejaan yang tidak diresmikan (Ejaan Melindo)
Pada akhir tahun 1950-an para penulis mulai pula merasakan kelemahan yang
terdapat pada Ejaan Republik itu. Ada kata-kata yang sangat mengganggu
penulisan karena ada satu bunyi bahas yang dilambangkan dengan dua huruf,
seperti dj, tj, sj, ng, dan ch. Para pakar bahasa menginginkan satu lamabang
untuk satu bunyi. Gagasan tersebut dibawa ke dalam pertemuan dua Negara, yaitu
Indonensia dan Malaysia. Dari pertemuan itu, pada akhir tahun 1959 Sidang
Perutusan Indonensia dan Melayu (Slametmulyana dan Syeh Nasir bin Ismail, masing-masing
berperanan sebagi ketua perutusan) menghasilkan konsep ejaan bersama yang
kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia).
Konsep bersama itu memperlihatkan bahwa satu bunyi bahasa dilambangkan
dengan satu huruf. Salah satu lambing itu adalah huruf j sebagai pengganti dj,
huruf c sebagai pengganti huruf tj, huruf η sebagai pengganti ng, dan huruf ή
sebagai pengganti nj. Sebagai contoh :
Ø
sejajar sebagai pengganti sedjadjar
Ø
mencuci sebagai pengganti mentjutji
Ø
meηaηa sebagai pengganti
dari menganga
Ø
berήaήi sebagai pengganti berjanji
Ejaan Melindo tidak pernah diresmikan. Di samping terdapat beberapa
kesukaran teknis untuk menuliskan beberapa huruf, politik yang terjadi
pada kedua negara antara Indonesia-Malaysia tidak memungkinkan untuk meresmikan
ejaan tersebut. Perencanaan pertama yang dilakukan dalam ejaan Melindo, yaitu
penyamaan lambang ujaran antara kedua negara, tidak dapat diwujudkan.
Perencanaan kedua, yaitu pelambangan setiap bunyi ujaran untuk satu lambang,
juga tidak dapat dilaksanakan. Berbagai gagasan tersebut dapat dituangkan dalam
Ejaan bahasa Indonensia yang disempurnakan yang berlaku saat ini.
3.
Ejaan Republik (Ejaan Soewandi)
Beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka yakni pada
masa pendudukan Jepang, pemerintah sudah mulai memikirkan keadaan ejaan kita
yang sangat tidak mampu mengikuti perkembangan ejaan internasional. Oleh sebab
itu, Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pengubahan
ejaan untuk menyempurnakan ejaan yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, pada tahun 1947
muncullah sebuah ejaan yang baru sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Dr. Soewandi, pada tanggal 19 Maret 1947 yang disebut
sebagai Ejaan Republik. Karena Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
adalah Dr. Soewandi, ejaan yang diresmikan itu disebut juga sebagai Ejaan
Soewandi. Hal-hal yang menonjol dalam Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik itu
adalah sebagai berikut :
Huruf /oe/ diganti dengan
/u/, seperti dalam kata berikut:
ü
goeroe menjadi guru
ü
itoe menjadi itu
ü
oemoer menjdi umur
Bunyi hamzah dan bunyi
sentak ditulis dengan /k/, seperti dalam kata berikut:
ü
tida’ menjadi tidak
ü
Pa’ menjadi Pak
ü
ma’lum menjadi maklum
ü
ra’yat menjadi rakyat
Angka dua boleh dipakai
untuk menyatakan pengulangan, seperti kata berikut:
ü
beramai-ramai menjadi be-ramai2
ü
anak-anak menjadi anak2
ü
berlari-larian menjadi ber-lari-2an
ü
berjalan-jalan menjadi ber-jalan2
Awalan di- dan
kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya, seperti berikut:
diluar (katadepan), dikebun (katadepan), ditulis (awalan),diantara (kata
depan), disimpan (awalan), dipimpin (awalan),dimuka (kata
depan), ditimpa (awalan), disini (kata
depan).
Tanda trema tidak dipakai
lagi sehingga tidak ada perbedaan antar suku kata diftong, seperti kata berikut:
ü
Didjoempaϊ menjadi
didjumpai
ü
Dihargaϊ menjadi
dihargai
ü
Moelaϊ menjadi
mulai
Tanda
aksen pada huruf e tidak dipakai lagi, seperti pada kata
berikut:
ü
ẻkor menjadi ekor
ü
hẻran mejadi heran
ü
mẻrah menjadi merah
ü
berbẻda menjadi berbeda
Di hadapan tj dan dj,
bunyi sengau ny dituliskan sebagai n untuk mengindahkan cara tulis:
ü Menjtjuri menjdi mentjuri
ü Menjdjual menjadi mendjual
Ketika memotong kata-kata
di ujung baris, awalan dan akhiran dianggap sebagai suku-suku kata yang
terpisah:
ü be-rangkat menjadi ber-angkat
ü atu-ran menjadi atur-an
Huruf-huruf q, x,
dan y tidak diatur pemakainnya dalam ejaan. Huruf chanya
dipakai dalam hubungannya dengan huruf ch.
4.
Ejaan Van Ophuysen
Ejaan ini disusun oleh Prof. ch. A. Van Ophuysen dengan bantuan ahli
bahasa seperti Engku Nawawi atas perintah Pemerintah Hindia Belanda. Ejaan ini
terbit pada tahun 1901, dalam kitab logat melayu. Menurut Van Ophuysen bahasa
melayu tidak mengenal gugus konsonam dalam satu kata.
Ajaran Ophuysen tidak dipakai
lagi karena beberapa pertimbangan :
1.
Adanya gugus konsonam dalam bahasa indonesia tidak menimbulkan kesulitan
apapun dalam lafal bagi pemakai bahasa Indonesia.
2.
Kita menghendaki agar eajaan kata pungut dalam bahasa Indonesia sedapat-dapatnya
dekat dengan ejaan asli kata asalnya.
3.
Dalam pemungutan kata asing kita sukar menghindari adanya gugus tugas
konsonam.
Contoh :
Kata instruktur (bahasa Belanda instructur) jika di Indonesiakan sesuai
dengan ketetapan Ophuysen akan menjadi in-se-te-ruk-tur.
Berdasarkan tiga hal tersebut maka ajaran Ophuysen dikesampingkan. Selain
itu kelemahan ejaan ini banyaknya tanda-tanda diakritik.
5.
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan atau biasa disebut EYD,
diberlakukan sejak penggunaannya diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 16 Augustus
1972. Pedoman umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan ditetapkan oleh
Mendikbud pada tanggal 31 Agustus 1975 dan dinyatakan dengan resmi berlaku
diseluruh Indonesia dan disempurnakan lagi pada tahun 1987.
Dikatakan ejaan yang disempurnakan karena ejaan tersebut merupakan
penyempurnaan dari beberapa ejaan sebelumnya. Beberapa kebijakan baru yang
ditetapkan di dalam EYD, antara lain:
1)
Pembentukan Huruf
Ejaan lama
EYD
dj jarum
j
jarum
tj tjut
c cut
nj njawa
ny
nyawa
2) Huruf f, r, dan z yang merupakan
unsur serapan dari bahasa asing, misalnya khilaf, zakat.
3) Huruf g dan x lazim digunakan
dalam ilmu pengetahuan tetap, misalnya furgan dan xenon.
4) Penulisan di - sebagai awalan
dibedakan dengan di sebagai kata depan.
Contoh :
Awalan
kata Depan
di-
di
dikhianati
di kampus
5) Kata ulang ditulis penuh dengan
mengulang unsur-unsurnya, bukan dengan angka dua/2 .
Contoh :
- Mahasiswa-mahasiswa
Mahasiswa2
- Bermain-main
Bermain2
Secara umum hal-hal yang diatur
dalam EYD adalah sebagai berikut :
1.
Pemakaian huruf
2.
Pemakaian huruf kapital dan huruf miring
3.
Penulisan kata
4.
Penulisan unsur serapan
5.
Pemakaian tanda baca
6. Ejaan Baru (Ejaan LBK)
Apakah Ejaan Baru itu?
1. Merupakan lanjutan dari rintisan
panitia ejaan melindo.Pelaksananya pun terdiri dari panitia Ejaan LBK (Lembaga
bahasa dan Kasusaatraan,sekarang bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa) juga dari panitia Ejaan bahasa Melayu yang berhasil merumuskan ejaan
yang disebut Ejaan Baru.Namun lebih di kenal dangan ejaan LBK. Konsep Ejaan ini
di susun berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain:
Pertimbangan Teknis yaitu pertimbangan yang menghendaki agar setiap fonem di lambangkan dengan satu huruf.
Pertimbangan Teknis yaitu pertimbangan yang menghendaki agar setiap fonem di lambangkan dengan satu huruf.
2. Pertimbangan Praktis yaitu
pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan secara teknis itu di sesuaikan
dengan keperluan praktis seperti ke adaan percetakan dan mesin tulis.
3. Pertimbangan Ilmiah yaitu
Pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan itu mencerminkan studi yang
mendalam mengenai kenyataan bahasa dan masyarakat pemakainya.
Perubahan apakah yang terdapat
dalam ejaan Baru?
1. Gabungan konsonan dj di ubah
menjadi j
Misalnya :
remadja → remaja
djalan → jalan
Misalnya :
remadja → remaja
djalan → jalan
2. Gabungan konsonan tj di ubah
menjadi c.
Misalnya :
tjakap → cakap
batja → baca
Misalnya :
tjakap → cakap
batja → baca
3. Gabungan konsonan nj di uban
menjadi ny.
Misalnya :
Sunji → sunyi
Njala → nyala
Misalnya :
Sunji → sunyi
Njala → nyala
4. Gabungan konsonan sj di ubah
menjadi sy.
Misalnya :
Sjarat → syarat
Misalnya :
Sjarat → syarat
Sjair → syair
5. Gabungan konsonan ch di ubah
menjadi kh.
Misalnya :
Tachta → takhta
Ichlas → ikhlas
Misalnya :
Tachta → takhta
Ichlas → ikhlas
6. Huruf j di ubah menjadi y
Misalnya :
Padjak → pajak
Djatah → jatah
Misalnya :
Padjak → pajak
Djatah → jatah
7. Huruf e taling dan e pepet
penulisannya tidak dibedakan dan hanya di tulis dengan e/tanpa penanda.
Misalnya :
Ségar → segar
Copèt →copet
Misalnya :
Ségar → segar
Copèt →copet
8. Huruf asing f, v, dan z di
masukkan kedalam sistem ejaan bahasa Indonesia karena huruf huruf itu banyak di
gunakan.
Misalnya :
Fasih
Vakum
Zaman
Misalnya :
Fasih
Vakum
Zaman
C. Pedoman Teknis Ejaan dan Tata
Tulis Baku
1.
Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda koma
(,) dalam penulisannya
Agaknya,
|
Paling
tidak,
|
|
Akan
tetapi,
|
Sebaliknya,
|
|
Akhirnya,
|
Sesudahnya,
|
|
Akibatnya,
|
Sementara
itu,
|
|
Artinya,
|
Adapun,
|
|
Biarpun
begitu,
|
Sungguhpun
begitu,
|
|
Biarpun
demikian,
|
Tambahan
Lagi,
|
|
Dalam
hal ini,
|
Untuk
itu,
|
|
Disamping
itu,
|
Namun,
|
|
Jadi,
|
Dalam
hubungan ini,
|
|
Lagi
pula,
|
Dalam
konteks ini,
|
|
Meskipun
begitu,
|
Dengan
kata lain,
|
|
Pada dasarnya,
|
Dipihak
lain,
|
|
Jika
demikian,
|
Sebaiknya,
|
|
Kalau
begitu
|
Sebelumnya,
|
|
Kalau
tidak salah,
|
Sehubungan
dengan itu,
|
|
Kecuali
itu,
|
Selanjutnya,
|
|
Meskipun
demikian
|
Sesudah
itu,
|
|
Oleh
sebab itu,
|
Sungguhpun
demikian,
|
|
Oleh
karena itu,
|
Tambahan
pula
|
|
Karena
itu,
|
Walaupun
begitu,
|
|
Sebagai
kesimpulan,
|
Maka
dari itu,
|
2.
Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam
penulisannya dan letaknya di tengah kalimat
…, padahal
|
…, sedangkan
|
…, seperti
|
…, misalnya
|
…, contohnya
|
…, antara lain
|
…, di antaranya
|
…, yaitu
|
…, yakni
|
…, ialah
|
…, adalah
|
…, pasalnya
|
3.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului
tanda koma, khususnya apabila bentuk kebahasaan itu diikuti anak kalimat.
…bahwa…
|
…maka…
|
…karena…
|
…sehingga…
|
…sebab…
|
…jika…
|
…kalau…
|
…apabila…
|
…bila…
|
…bilamana…
|
4.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului tanda
koma, khususnya apabila bentuk kebahasaan itu diikuti induk kalimat
.
…, bahwa…
|
…, maka…
|
…, karena…
|
…, sehingga…
|
…, sebab…
|
…, jika…
|
…, kalau…
|
…, apabila…
|
…, bila…
|
…bilamana…
|
5.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir
berpasangan karena merupakan konjungsi korelarif.
Baik…maupun
|
Bukan…melainkan
|
Tidak…tetapi
|
Entah…entah
|
Antara…dan
|
Tidak hanya…tetapi juga
|
Bukan hanya…melainkan juga
|
6.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir
berpasangan karena merupakan idiom atau bentuk senyawa.
Sesuai dengan
|
Terkait dengan
|
Seirama dengan
|
Berkaitan dengan
|
Bertalian dengan
|
Setali dengan
|
Berkenaan dengan
|
Seiring dengan
|
Sejalan dengan
|
Dibandingkan dengan
|
Sehubungan dengan
|
Berhubungan dengan
|
Berpasangan dengan
|
Bergandengan dengan
|
Dan lain-lain
|
Dan sebagainya
|
Berkali-kali
|
Berulang-ulang
|
Terdiri dari
|
7.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir
karena berkaitan dengan dimensi kedaerahan dan kelisanan
gimana
|
mangkanya
|
|
gitu
|
karenanya
|
|
slama
|
haturkan
|
|
nggak
|
menghaturkan
|
|
tahuk
|
kompleks pemakaman
|
|
peduli amat
|
daerah pedesaan
|
|
ini hari
|
wilayah pemukiman
|
|
ketawa
|
penduluan
|
|
ketabrak
|
pembaharuan
|
|
kepukul
|
nampak
|
|
kesandung
|
naik ke atas
|
|
mangkin
|
mundur ke belakang
|
|
selamatken
|
kacang ijo
|
|
diundangken
|
lombok ijo
|
|
himbau
|
lombok abang
|
|
hempas
|
kerbo
|
|
himpit
|
pake
|
|
rapih
|
rame
|
|
silahkan
|
sante
|
|
ujud
|
nyante
|
|
perujudan
|
kede
|
|
persaratan
|
terate
|
|
sah
|
kedele
|
|
tentunya
|
sate
|
|
makanya
|
nyante
|
8.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena
merupakan hasil dari analogi bentuk-bentuk kebahasaan yang salah.
lelenisasi
|
neonisasi
|
|
listrikisasi
|
krakalisasi
|
|
aspalisasi
|
konblokisasi
|
|
selokanisasi
|
teleponisasi
|
|
sengoninasi
|
jatinisasi
|
|
turinisasi
|
abatisasi
|
|
kuningisasi
|
semprotisasi
|
|
merahisasi
|
jambanisasi
|
|
hijaunisasi
|
kakusisasi
|
|
hitamisasi
|
wesenisasi
|
|
lampunisasi
|
pompanisasi
|
9.
Bentuk-bentuk yang keliru karena merupakan hasil
dari analogi nomina dan verba yang tidak benar
koordinir
|
mangorganisir
|
|
mengkoordinir
|
terorganisir
|
|
dikoordinir
|
dramatisir
|
|
terkoordinir
|
mendramatisir
|
|
legalisir
|
didramatisir
|
|
dilegalisir
|
realisir
|
|
melegalisir
|
merealisir
|
|
lokalisir
|
direalisir
|
|
melokalisir
|
terealisir
|
|
dilokalisir
|
politisir
|
|
proklamir
|
dipolitisir
|
|
memproklamirkan
|
mempolitisir
|
|
diproklamirkan
|
netralisir
|
|
konfrontir
|
dinetralisir
|
|
dikonfrontir
|
menetralisir
|
|
mengkonfrontir
|
akomodir
|
|
organisir
|
mengakomodir
|
|
diorganisir
|
diakomodir
|
10.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena
ketidakcermatan dalam penulisan.
pungkir
|
dipungkiri
|
mempungkiri
|
jadual
|
gladi
|
gladi resik
|
trampil
|
kroyok
|
analisa
|
menganalisa
|
dianalisa
|
panutan
|
antri
|
mengantri
|
prosen
|
diprosenkan
|
prosentase
|
kusus
|
ihlas
|
akhli
|
husus
|
apotik
|
apotiker
|
praktek
|
praktekum
|
ijin
|
mengijinkan
|
diijinkan
|
fikiran
|
difikiran
|
faham
|
difahami
|
kwitansi
|
dikwitansikan
|
11.
Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya
anggapan yang salah ihwal penulisan gabungan kata.
beritahu
|
lipatganda
|
kerjasama
|
garisbawah
|
sebarluas
|
tandatangan
|
tanggungjawab
|
terimakasih
|
keretaapi
|
rumahsakit
|
suratkabar
|
12.
Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan
gabungan kata yang salah.
sebarluaskan
|
bertandatangan
|
tandatangi
|
tandatangankan
|
bertanggungjawab
|
berterimakasih
|
Terimakasihi
|
memberitahu
|
beritahukan
|
berlipatganda
|
bekerjasama
|
digarisbawahi
|
garisbawahi
|
tersebarluas
|
13.
Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman
morfofonemik yang salah.
memroduksi
|
memromosikan
|
memroses
|
memraktikkan
|
memrakarsai
|
memrotes
|
memrakirakan
|
mempedulikan
|
Memerhatikan
|
Mempesona
|
mengkomunikasikan
|
Mengkoordinir
|
Memunyai
|
mengkambinghitamkan
|
mengkonsumsi
|
14.
Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya
kesalahkaprahan.
menyuci
|
menyoblos
|
maka
itu
|
merubah
|
tersebut
di atas
|
jam 7
pagi
|
nampak
|
silahkan
|
merapihkan
|
pengetrapan
|
masing-masing
orang
|
sesuatu
benda
|
seseorang
dosen
|
berkesinambungan
|
disini
|
disana
|
diketemukan
|
sampai
ketemu kembali
|
sampai
jumpa
|
seperti
misalnya
|
seperti
contohnya
|
misalnya
antara lain
|
antara
lain seperti
|
di
antaranya seperti
|
adalah
merupakan
|
mengenyampingkan
|
15.
Bentuk kebahasaan yang salah akibat kegandaan
konjungsi kalimat.
Jika.
. .maka
|
Karena.
. .maka
|
Kalau.
. .maka
|
Sehingga.
. .maka
|
Apabila.
. .maka
|
Bila.
. .maka
|
Manakala.
. .maka
|
Meskipun.
. .tetapi
|
Meskipun.
. .namun
|
Walaupun.
. .tetapi
|
Kendatipun.
. .namun
|
16.
Bentuk ‘di’ ditulis serangkai apabila kata yang
mengikutinya adalah ‘verba’ atau ‘kata kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak
serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata itu merupakan nomina atau
kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan ‘disamping’ berbeda, karena yang satu
bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang satunya bermakan ‘selain’ atau ‘kecuali’.
dipukul
|
ditendang
|
dipikir
|
dibangun
|
dipasang
|
dikawal
|
dibunuh
|
dicium
|
dipakai
|
dipindai
|
dimakan
|
di
meja
|
di
kursi
|
di
halaman
|
di
kelas
|
di
gedung
|
di
kolam
|
di
samping
|
di
dalam
|
di
luar
|
17.
Bentuk ‘ke’ harus ditulis serangkai dengan kata
yang mengikutinya apabila diikuti kata bilangan atau numeralia. Selain itu,
‘ke’ juga harus ditulis serangkai dengan ‘luar’ kalau merupakan kebalikan dari
kata ‘masuk’. Adapun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis tidak serangkai karena bentuk
itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’. Mohon hati - hati pula dengan
bentuk kebahasaan yang memang penulisannya diawali oleh ‘ke’.
kedua
|
ketiga
|
keempat
|
keluar
|
kekasih
|
ketua
|
kemari
|
18.
Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata
yang mendahuluinya apabila ‘pun’ tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan
bentuk kebahasaan yang mendahuluinya. Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah
dengan kata yang mendahuluinya apabila ‘pun’ berfungsi ‘menyangatkan’ atau
‘mengeraskan makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali saja’ atau‘meskipun
sekali’ atau ‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalam makna yang
terakhir ini harus ditulis tidak serangkai.
koordinir
|
mengkoordinir
|
dikoordinir
|
terkoordinir
|
legalisir
|
dilegalisir
|
melegalisir
|
meskipun
|
walaupun
|
biarpun
|
sungguhpun
|
kendatipun
|
adapun
|
ataupun
|
kalaupun
|
maupun
|
bagaimanapun
|
andaipun
|
sekalipun
|
sedikit
pun
|
apa
pun
|
aku
pun
|
dia
pun
|
mereka
pun
|
kita
pun
|
sepeser
pun
|
sekali
pun
|
19.
Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat
berdiri sendiri sebagai kata harus dituliskan serangkai dengan bentuk
kebahasaan yang mengikutinya. Demikian pula kata gabung yang bagian - bagiannya
berhubungan sangat erat hingga merupakan sebuah paduan harus dituliskan
serangkai.
intrakurikuler
|
ekstrakurikuler
|
perikemanusiaan
|
ultramodren
|
kontrarevolusi
|
multilateral
|
antarkota
|
semifinal
|
saptamarga
|
saptaprasetia
|
tunawisma
|
mahaadil
|
mahajaya
|
matahari
|
apabila
|
manakala
|
padahal
|
bagaimana
|
peribahasa
|
20.
Kata gabung dasar yang bagian - bagiannya tidak
sangat erat hubungannya, sehingga tidak dapat disatukan menjadi satu kata,
harus dituliskan tidak serangkai. Bentuk tersebut akan ditulis serangkai hanya
apabila dikenakan konfiks atau imbuhan gabung. Awalan atau prefiks hanya akan
melekat pada unsure pertama, akhiran atau sufiks hanya melekat pada unsure
kedua. Bentuk gabung dasar tersebut.
tanggung
jawab
|
kerja
sama
|
daya
guna
|
salah
guna
|
pertanggungjawaban
|
bekerja
sama
|
disalahgunakan
|
disalahartikan
|
garis
bawah
|
jungkir
balik
|
sebar
luas
|
sertanggung
jawab
|
bergaris
bawah
|
digarisbawahi
|
dijungkirbalik
|
penjungkirbalikan
|
21.
Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam pemakaiannya dapat
diakhiri dengan tanda titik (.) dan dapat pula dengan tanda titik dua (:).
Bedanya, tanda titik (.) digunakan apabila perincian yang menyertai ‘sebagai
berikut’ adalah kalimat-kalimat, sedangkan tanda titik dua (:) digunakan
apabila perincian yang menyertainya adalah kata, frasa, atau klausa. Akhir
setiap rincian bisa tanda titik (.) kalau berupa kalimat, tanda koma (,) atau
tanda titik koma (;) bila perincian itu berupa frasa atau klausa. Bentuk ‘dan’
pada akhir frasa sebelum perincian terakhir digunakan apabila perincian itu
dipisahkan dengan tanda koma (,).
Contoh:
1)
Kendala-kendala itu adalah sebagai berikut.
a.
Biaya pendidikan sangat mahal dan tidak
terjangkau.
b.
Biaya pendidikan yang mahal dan tidk terjangkau.
c.
Biaya pendidikan harus dibayarkan secara langsung
dan tunai.
2) Kendala-kendala itu adalah sebagai berikut:
a.
Sulit dijangkau,
b.
Sulit dicari, dan
c.
Sulit ditemukan.
3)
Kendala-kendala itu adalah sebagai berikut:
a.
Sulit dijangkau;
b.
Sulit dicari;
c.
Sulit ditemukan
22.
Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘yakni’ dan ‘yaitu’.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang
bersifat mendatar atau horizontal, maupun dalam perincian yang bersifat
vertical, tidak perlu diikuti tanda titik dua (:) .
Contoh:
1)
Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi
secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b) sulit dicari, dan (c) sulit
ditemukan.
2)
Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi
secepatnya, yakni
a.
sulit dijangkau,
b.
sulit dicari, dan
c.
sulit ditemukan.
Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan
sesuatu, sedangkan
Bentuk ‘adalah’ digunakan untuk menegaskan
hubungan subjek kalimat dengan unsur penjelas yang mengikutinya. Dalam hal yang
terakhir ini kata ‘adalah’ dapat digantikan dengan ‘merupakan’. Adapun ‘yakni’
dan ‘yaitu’ digunakan untuk memerinci.
Contoh:
a.
Perampok ialah. . .
b.
Fisika ialah. . .
c.
Korupsi ialah. . .
d.
Januari adalah bulan pertama dalam setiap tahun.
e.
Pancasila adalah dasar negara kita.
f.
Januari merupakan bulan pertama dalam setiap
tahun.
g.
Pancasila merupakan dasar negara kita.
h.
Dia melarikan diri bersama tiga orang teman,
yakni Badu, Budi, dan Bido.
23.
Ihwal tanda hubung (-) dan tandai (–) .
Tanda hubung sering dikacaukan pemakaiannya
dengan tanda pisah (−). Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan
dituliskan diantara bentuk yang diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−)
digunakan untuk menyatakan maksud ‘hingga’ atau ‘sampai’ atau ‘sampai dengan’.
Tanda pisah juga digunakan untuk menyatakan sisipan informasi atau keterangan
yang ada didalam kalimat. Pemakaian tanda hubung (-) dan tanda pisah (−) harus
rapat dengan kata yang mengawali dan mengikutinya.
Contoh:
a.
putar-putar
b.
jaga-jaga
c.
tanda-tanda
d.
kaya-kaya
e.
cerdas-cerdas
f.
3−5 mahasiswa
g.
Surabaya−Jakarta
h.
2009−2012
24.
Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’,
‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’. Di antara betuk-bentuk kebahasaan
di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘tiap-tiap’ atau ‘setiap’,
lainnya tidak. Kesalahan kebahasaan yang selama ini terjadi adalah bahwa bentuk
‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’, semuanya diikuti oleh benda atau
nomina. Harus dicatat bahwa yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘suatu’ dan
‘seorang’, bukan ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’.
Contoh:
a.
Setiap mahasiswa diperbolehkan mengikuti
perkuliahan tambahan besok pagi.
b.
Tiap-tiap mahasiswa diperbolehkan mengikuti
perkuliahan tambahan besok pagi.
c.
Seorang pencuri menyelinap lewat pintu belakang
rumah itu.
25.
Ihwal
‘sementara’, ‘sementara itu’, ‘sedangkan’, dan ‘adapun’
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan
sebagai konjungsi atau penghubung antarkalimat. Konjungsi demikian itu bertugas
menghubungkan ide pada kalimat sebelumnya, dengan ide pada kalimat yang
mengikutinya. Konjungsi antarkalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda
koma (,) yang menyertainya. Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat,
bukan antarkalimat. Dengan demikian, bentuk demikian itu tidak pernah boleh
menempati posisi antarkalimat. Bentuk ‘sementara’ bukanlah konjungsi, maka
jangan pernah ditempatkan pada posisi konjungsi. Makna kata ‘sementara’ adalah
‘beberapa waktu’. Jadi, jangan pernah bentuk kebahasaan ini dianggap sama
dengan ‘sedangkan’. Hal lain yang juga harus dicatat berkaitan dengan
‘sementara’ adalah bahwa kata itu sering dianggap bermakna ‘beberapa’, bukan
hanya ‘beberapa waktu’. Anggapan yang disebutkan terakhir ini pun tidak benar.
Contoh-contoh kebahasaan berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.
a.
Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
b.
Sedangkan masalah-masalah kelembagaan cenderung
diabaikan.
c.
Sementara para mahasiswa tidak diperkenankan
masuk kampus.
Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai
berikut:
a.
Beberapa kalangan akan segera dating menyusul.
b.
Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung
diabaikan.
c.
Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan
masuk kampus.
26.
Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara
lain’
Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai
konjungsi yang tugasnya adalah memerinci. Sebagai pemerinci, makna yang
terkandung didalam konjungsi itu adalah sekaligus pembatas. Maka dari itu,
tidak perlu ditambahkan pembatas lain dalam pemakaiannya karena akan membuat
kalimat itu salah. Contoh-contoh bentuk kebahasaan berikut ini tidak benar dan
harus dibetulkan terlebih dahulu jika hendak dimanfaatkan.
a.
Lambatnya mengatasi amsa;ah tiu dipengaruhi oleh
banyak hal, misalnya terbatasnya keuanagan, kurangnya sumber daya manusia, dan
lain-lain.
Bentuk kebahsaaan yang benar untuk kalimat diatas
tentu saja adalah sebagai berikut:
a.
Lambatnya mengatasi masalah itu dipengaruhi oleh banyak
hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya sumber daya manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar